top of page

Garibaldi dan Kebangkitan Maritim Indonesia: Refleksi Strategis atas Transformasi Kekuatan Laut Nasional di Era Prabowo Subianto

Oleh Dr. Surya Wiranto, SH MH[1]

Penulis adalah purnawirawan Laksamana Muda TNI Angkatan Laut, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia–Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Beliau juga aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.

Kebangkitan maritim Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menandai perubahan paradigma strategis dari orientasi pertahanan berbasis darat menuju penegasan kekuatan laut sebagai instrumen geopolitik utama. Rencana akuisisi kapal induk ITS Giuseppe Garibaldi dari Italia bukan sekadar kebijakan militer, melainkan simbol kebangkitan kesadaran maritim nasional. Melalui analisis historis, geopolitik, dan kebijakan pertahanan, tulisan ini menelaah arti penting kapal induk sebagai sarana deterrence, pendidikan militer, dan simbol kepercayaan diri bangsa. Kajian ini menegaskan bahwa penguatan industri pertahanan laut dan sumber daya manusia maritim merupakan prasyarat menuju kemandirian strategis. Dalam lanskap Indo-Pasifik yang dinamis, Garibaldi menjadi penanda zaman baru bagi kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan maritim menengah (maritime middle power).

Kata kunci: Garibaldi, maritim Indonesia, kekuatan laut, Prabowo Subianto, geopolitik Indo-Pasifik, industri pertahanan, kapal induk.


1. Konteks Historis dan Strategis

Laut selalu menjadi fondasi eksistensial bangsa Indonesia. Sejak masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, laut bukan hanya ruang geografis, tetapi juga sumber kekuasaan dan kebanggaan nasional. Namun, orientasi kebijakan pertahanan Indonesia pasca-kemerdekaan cenderung terfokus pada dimensi kontinental, lebih menekankan keamanan darat ketimbang supremasi maritim. Akibatnya, meskipun Indonesia diakui sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.000 pulau dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 6,4 juta kilometer persegi, kekuatan lautnya belum berkembang sepadan dengan potensi tersebut (Kementerian Pertahanan RI, 2023).


Konteks strategis global kini tengah bergeser menuju Indo-Pasifik. Dua samudra besar, Hindia dan Pasifik, menjadi ruang utama rivalitas kekuatan besar antara Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan sekutunya. Posisi geografis Indonesia yang berada di antara kedua samudra tersebut menempatkannya pada poros sentral arsitektur keamanan kawasan. Laut Natuna, Selat Malaka, dan perairan timur Indonesia menjadi simpul strategis yang menentukan stabilitas ekonomi dan politik global. Dalam lanskap ini, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kedaulatan maritim bukan hanya urusan pertahanan, tetapi menyangkut eksistensi dan martabat bangsa (Prabowo Subianto, 2024).


Rencana akuisisi kapal induk ITS Giuseppe Garibaldi dari Italia merepresentasikan kebijakan strategis yang melampaui simbol militer. Kapal induk, dalam logika geopolitik modern, bukan sekadar alat tempur, melainkan floating sovereignty, representasi kehadiran negara di lautan luas. Dengan panjang 180 meter, bobot 13.000 ton, dan kemampuan mengoperasikan pesawat lepas landas vertikal, Garibaldi adalah platform multiguna yang dapat berperan dalam operasi udara-maritim, kemanusiaan, maupun proyeksi diplomasi pertahanan. Dalam konteks Indonesia, langkah ini merupakan artikulasi dari visi besar “Poros Maritim Dunia” yang kini dihidupkan kembali dalam kerangka pertahanan modern (Bappenas, 2024).



Tampak Depan ITS
ITS Giuseppe Garibaldi

Kebijakan ini juga memiliki dimensi psikologis nasional. Sejak lama, Angkatan Laut Indonesia beroperasi dengan armada konvensional yang berorientasi pada pertahanan wilayah, bukan proyeksi kekuatan. Kehadiran kapal induk akan mengubah paradigma tersebut, dari “penjaga pantai” menjadi “penentu arah geopolitik.” Dalam hal ini, Garibaldi bukan hanya kapal, tetapi simbol kebangkitan jati diri bangsa pelaut.








2. Analisis Masalah: Kesenjangan Kekuatan Laut dan Tantangan Struktural

Meskipun Indonesia telah mencanangkan Minimum Essential Force (MEF) sejak 2010, pencapaiannya dalam domain laut masih jauh dari target ideal. Hingga akhir 2023, capaian MEF di sektor laut baru mencapai sekitar 64 persen dari kebutuhan minimum (Kemhan RI, 2023). Tantangan utama terletak pada tiga hal: keterbatasan industri pertahanan nasional, kesenjangan teknologi militer laut, dan belum terbangunnya kultur maritim di tingkat nasional.


Pertama, industri pertahanan laut Indonesia masih bergantung pada transfer teknologi dari luar negeri. PT PAL, meskipun telah memproduksi kapal selam Nagapasa-class dan fregat Merah Putih, masih menghadapi keterbatasan pada sistem sensor, radar, dan command control. Keterlambatan integrasi teknologi ini menghambat kemampuan Angkatan Laut Republik Indonesia (TNI AL) dalam mencapai operational readiness yang setara dengan negara-negara maritim besar di kawasan seperti India, Australia, dan Jepang.


Kedua, secara struktural, pendidikan dan latihan perwira laut masih berorientasi pada operasi taktis, bukan strategis. Kesenjangan ini menimbulkan defisit pada strategic leadership, kemampuan mengintegrasikan teknologi, diplomasi, dan kekuatan militer dalam satu kesatuan visi maritim nasional. Di era kompleksitas geopolitik Indo-Pasifik, kemampuan tersebut menjadi syarat mutlak.


Ketiga, masalah pendanaan pertahanan. Anggaran pertahanan Indonesia pada tahun 2024 sebesar Rp152 triliun (sekitar 0,8 persen dari PDB), masih di bawah rata-rata kawasan Asia Tenggara (Jane’s Defence, 2024). Dengan struktur anggaran seperti ini, pengadaan sistem senjata utama seperti kapal induk membutuhkan inovasi pendanaan yang berkelanjutan melalui kerja sama internasional, offset agreements, serta model investasi pertahanan berbasis kedaulatan.

Selain faktor internal, terdapat pula dimensi eksternal yang memperkuat urgensi kebangkitan maritim Indonesia. Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut Cina Selatan menimbulkan tekanan strategis yang signifikan terhadap keamanan kawasan. Indonesia, yang wilayahnya bersinggungan dengan zona klaim Tiongkok, menghadapi tantangan dalam menegakkan hukum internasional tanpa terlibat dalam rivalitas langsung. Dalam konteks inilah, kehadiran kapal induk seperti Garibaldi dapat berfungsi sebagai deterrence posture yang kredibel tanpa menimbulkan provokasi terbuka.


3. Dimensi Simbolik dan Strategis Kapal Induk Garibaldi

Dalam teori geopolitik klasik, laut adalah medium kekuasaan (sea power) sebagaimana ditegaskan oleh Alfred Thayer Mahan (1890). Kekuatan laut bukan hanya ditentukan oleh jumlah kapal, tetapi oleh kemampuan menguasai komunikasi, logistik, dan persepsi strategis di lautan. Kapal induk menjadi simbol paling nyata dari proyeksi kekuatan tersebut. Inggris dengan HMS Queen Elizabeth, India dengan INS Vikrant, dan Tiongkok dengan Shandong menunjukkan bahwa kapal induk kini menjadi instrumen diplomasi global, menandakan status negara sebagai kekuatan laut menengah atau besar.


Dalam konteks Indonesia, Garibaldi berfungsi sebagai strategic learning platform. Kapal ini dapat menjadi “universitas bergerak” bagi TNI AL untuk menguasai sistem kendali tempur, integrasi pesawat udara laut, serta manajemen logistik jarak jauh. Di atas geladaknya, ratusan perwira dan teknisi dapat mempelajari disiplin, koordinasi, dan teknologi tingkat tinggi. Dengan demikian, Garibaldi bukan hanya aset tempur, tetapi instrumen pembelajaran dan modernisasi pertahanan.


Dari segi diplomasi, kehadiran kapal induk akan meningkatkan strategic visibility Indonesia dalam forum internasional. Kehadiran Garibaldi dalam operasi multilateral, latihan bersama, atau misi kemanusiaan akan memperkuat strategic credibility Indonesia sebagai negara maritim yang aktif menjaga stabilitas kawasan. Secara simbolik, hal ini juga memperkuat citra Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin yang merevitalisasi kesadaran maritim nasional dan mengembalikan laut sebagai pusat identitas kebangsaan.


Kritik terhadap akuisisi kapal induk umumnya berkisar pada biaya tinggi dan efektivitasnya dalam konteks pertahanan kepulauan. Namun, perdebatan tersebut seringkali mengabaikan dimensi psikologis dan simbolik yang melekat. Kapal induk bukan sekadar alat perang; ia adalah simbol keberanian bangsa untuk bermimpi besar, membangun disiplin, dan menegakkan kedaulatan di lautan luas. Dalam hal ini, Garibaldi menjadi representasi keberanian politik untuk menatap masa depan dengan visi strategis.


ITS Garibaldi
ITS Giuseppe Garibaldi

4. Membangun Basis Industri dan SDM Maritim Nasional

Keberhasilan kebangkitan maritim Indonesia tidak hanya ditentukan oleh akuisisi alutsista canggih, tetapi juga oleh pembangunan maritime human capital yang unggul. Sumber daya manusia menjadi inti dari transformasi strategis ini. Reformasi pendidikan perwira laut harus diarahkan pada integrasi ilmu teknologi, kebijakan pertahanan, dan geopolitik maritim. Akademi Angkatan Laut dan Universitas Pertahanan perlu memperkuat kurikulum yang berbasis inovasi teknologi dan adaptasi sistem global (Yusgiantoro, 2022).


Selain itu, industri pertahanan nasional harus bertransformasi menjadi ekosistem inovatif. Pemerintah perlu memperluas investasi pada dual-use technologies, teknologi yang dapat digunakan baik untuk kepentingan sipil maupun militer, seperti sistem navigasi satelit, kecerdasan buatan untuk deteksi kapal asing, serta robotika bawah laut. Kolaborasi antara PT PAL, BPPT, dan lembaga riset universitas harus diperkuat dalam model triple helix agar inovasi berjalan terintegrasi dan berkelanjutan.


Di sisi lain, kebijakan offset dalam setiap akuisisi pertahanan harus diarahkan untuk transfer teknologi yang nyata. Terkait Garibaldi, kerja sama dengan Italia dapat mencakup pelatihan teknisi, perwira dek, serta program pengembangan dok dan pemeliharaan (maintenance hub) di Surabaya atau Batam. Hal ini akan memperkuat kemandirian industri dalam jangka panjang.

Kebangkitan maritim juga memerlukan integrasi lintas sektor. Pembangunan pelabuhan, logistik laut, dan industri galangan kapal sipil harus disinergikan dengan strategi pertahanan. Dengan demikian, kebijakan maritim tidak lagi terfragmentasi antara ekonomi, transportasi, dan keamanan, tetapi beroperasi dalam satu ekosistem strategis nasional.


TNI-AL
Marinir TNI AL

Kebijakan Implementatif dan Roadmap Kebangkitan Maritim

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai kekuatan maritim menengah pada tahun 2045, diperlukan kebijakan implementatif yang konsisten dan terukur. Pertama, pembentukan National Maritime Security Council yang mengintegrasikan TNI AL, Bakamla, Kemenhub, dan KKP guna memperkuat koordinasi pengawasan laut. Kedua, perumusan doktrin sea control dan sea denial yang adaptif terhadap ancaman hibrida dan non-konvensional. Doktrin ini harus menjadi landasan bagi operasi laut gabungan dan interoperabilitas antar-matra.


Kehadiran Garibaldi dapat dimanfaatkan sebagai platform latihan gabungan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Latihan seperti Komodo Exercise dan ASEAN Maritime Defense Dialogue dapat menjadi sarana memperkuat diplomasi pertahanan. Dalam konteks regional, Garibaldi dapat menjadi simbol kontribusi Indonesia terhadap stabilitas keamanan Asia Tenggara.


Dari sisi kebijakan industri, pemerintah perlu menetapkan Maritime Industrial Roadmap 2035 yang menargetkan peningkatan kandungan lokal pertahanan laut hingga 70 persen. Pendanaan inovatif melalui Sovereign Defense Fund dapat menjadi solusi keberlanjutan pembiayaan tanpa membebani APBN. Selain itu, regulasi yang memberikan insentif pajak bagi industri pertahanan swasta akan mempercepat ekosistem maritim nasional.


Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa kemandirian pertahanan tidak dapat dipisahkan dari kemandirian ekonomi dan teknologi (Prabowo, 2024). Oleh karena itu, setiap langkah implementatif harus mencerminkan keseimbangan antara idealisme kedaulatan dan pragmatisme pembangunan. Dengan kebijakan yang sinergis, Indonesia dapat bertransformasi dari negara maritim yang reaktif menjadi proactive maritime power yang berperan menentukan arah dinamika Indo-Pasifik.


Garibaldi sebagai Penanda Zaman

Kapal induk Garibaldi bukan sekadar pembelian alat pertahanan, tetapi sebuah manifestasi kesadaran strategis bangsa. Dalam wujud fisiknya yang mengapung di samudra, tersimpan makna simbolik bahwa Indonesia kembali menegakkan kepala sebagai bangsa pelaut. Di tengah rivalitas global dan perubahan tatanan dunia, kebangkitan maritim menjadi prasyarat bagi eksistensi bangsa kepulauan ini.


Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan arah baru kebijakan pertahanan Indonesia yang menyeimbangkan antara diplomasi, pembangunan ekonomi, dan kekuatan militer maritim. Garibaldi menjadi metafora keberanian melangkah melampaui keterbatasan historis menuju era kemandirian strategis. Melalui kapal ini, Indonesia tidak hanya menunjukkan kekuatan, tetapi juga kepercayaan diri nasional yang selama ini terpendam di dasar laut sejarahnya sendiri.


Maka, ketika Garibaldi berlayar di bawah panji merah putih, ia bukan sekadar kapal. Ia adalah penanda zaman, saat Indonesia menatap cakrawala dengan keyakinan baru: bahwa laut bukan lagi batas, tetapi jembatan menuju kejayaan. Dengan tekad, visi, dan kepemimpinan strategis, bangsa ini tengah menulis babak baru dalam sejarahnya, the return of a maritime nation.


Sumber Foto: Berbagai sumber


Daftar Pustaka
  1. Bappenas. (2024). Rencana Pembangunan Nasional Bidang Maritim 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

  2. Jane’s Defence Weekly. (2024). Indonesia Defence Budget 2024 Analysis. London: Jane’s Information Group.

  3. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2023). Laporan Capaian Minimum Essential Force 2023. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemhan.

  4. Mahan, A. T. (1890). The Influence of Sea Power upon History, 1660–1783. Boston: Little, Brown and Company.

  5. Prabowo Subianto. (2024). Visi Strategis Pertahanan dan Kebangkitan Maritim Indonesia. Jakarta: Kemhan RI.

  6. Yusgiantoro, P. (2022). Pertahanan Negara dan Pembangunan Industri Strategis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

  7. International Institute for Strategic Studies (IISS). (2024). The Military Balance 2024. London: Routledge.

Comments


bottom of page