top of page

Diferensiasi Perjanjian Internasional yang Mengikat dan Memorandum of Understanding Politis Dalam Studi Kasus Kerjasama Indonesia-Tiongkok

Oleh Dr. Surya Wiranto, SH MH[1]

Penulis adalah purnawirawan Laksamana Muda TNI Angkatan Laut, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia–Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Beliau juga aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.

 


Abstrak 

Dinamika hubungan internasional kontemporer ditandai dengan proliferasi berbagai instrumen kerjasama, menciptakan tantangan dalam membedakan perjanjian yang mengikat hukum secara ketat dari komitmen politik. Naskah akademik ini menganalisis diferensiasi konseptual antara perjanjian internasional dan Memorandum of Understanding (MoU) dengan studi kasus utama Joint Statement on Maritime Cooperation antara Indonesia dan Tiongkok, 9 November 2024. Berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, analisis difokuskan pada parameter niat para pihak, bahasa tekstual, mekanisme penyelesaian sengketa, dan formalitas prosedural. Temuan menunjukkan bahwa meskipun Joint Statement tersebut mengandung elemen operasional tertentu, konstruksi bahasanya yang dominan aspiratif dan ketiadaan klausul penyelesaian sengketa yang formal mengindikasikan karakter politis yang lebih kuat daripada karakter hukum yang mengikat. Implikasinya, instrumen ini memerlukan mekanisme follow-up yang konkret untuk mentransformasikan komitmen politik menjadi kewajiban yang dapat dieksekusi secara hukum, khususnya dalam isu sensitif seperti pengembangan bersama di wilayah laut.


Kata Kunci: Perjanjian Internasional, Memorandum of Understanding (MoU), Hukum Perjanjian, Hukum Laut, Indonesia-Tiongkok, Joint Statement, Pacta Sunt Servanda, Konvensi Wina 1969.


Kompleksitas Instrumen Hukum dalam Hubungan Bilateral Kontemporer
ree

Hubungan bilateral Indonesia dan Tiongkok telah memasuki fase strategis yang ditandai dengan intensitas kerjasama tinggi di berbagai sektor, sebagaimana tercermin dalam kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, H.E. Prabowo Subianto, ke Tiongkok pada 8 hingga 10 November 2024. Kunjungan pertama Presiden Prabowo pasca pelantikan ini tidak hanya merefleksikan kepercayaan politik tingkat tinggi antara kedua negara, tetapi juga menghasilkan sejumlah dokumen kerjasama yang kompleks dan multi-sektoral. Dalam kancah hukum internasional, kemunculan beragam instrumen kerjasama, mulai dari perjanjian yang secara tegas mengikat secara hukum hingga dokumen-dokumen deklaratif yang bersifat politis, menciptakan lanskap hukum yang berlapis. Fenomena ini memunculkan kebutuhan mendesak bagi para pembuat kebijakan, diplomat, dan praktisi hukum untuk secara cermat membedakan karakter hukum dari setiap instrumen yang ditandatangani. Diferensiasi ini menjadi krusial karena implikasi hukum, politik, dan ekonomi yang sangat berbeda di balik setiap jenis instrumen. Suatu perjanjian yang mengikat hukum menimbulkan kewajiban internasional yang dapat dipertanggungjawabkan di forum hukum, sementara MoU atau joint statement yang bersifat politis lebih menekankan pada komitmen moral dan goodwill yang penegakannya bergantung pada dinamika hubungan bilateral. Konteks inilah yang menjadikan analisis terhadap Joint Statement on Maritime Cooperation antara Indonesia dan Tiongkok yang ditandatangani pada 9 November 2024 menjadi studi kasus yang sangat relevan dan aktual untuk memahami bagaimana dua negara besar memilih instrumen hukum yang berbeda untuk mengatur bidang kerjasama yang berbeda tingkat sensitivitasnya.


Analisis Masalah: Membedakan Niat Mengikat Hukum dalam Teks Joint Statement Indonesia-Tiongkok 2024

Prinsip fundamental pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian menegaskan bahwa setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Namun, penerapan prinsip ini mensyaratkan terpenuhinya unsur niat para pihak untuk menciptakan hak dan kewajiban hukum. Permasalahan utama yang dihadapi dalam praktik diplomasi modern adalah sering kaburnya batas antara niat hukum dan niat politik dalam perumusan suatu instrumen bilateral. Untuk mengurai permasalahan ini, beberapa parameter analitis dapat diterapkan.

  1. Parameter niat para pihak yang menjadi ujian paling determinatif. Niat ini tidak dilihat dari subjektivitas para perunding, melainkan dari objektivitas teks dokumen itu sendiri.

  2. Parameter bahasa dan kata-kata yang digunakan, di mana kata-kata imperatif seperti "shall" (harus) mengindikasikan kewajiban hukum, sementara kata-kata aspiratif seperti "should" (sebaiknya) atau "will endeavour to" (akan berusaha untuk) mengarah pada komitmen politik.

  3. Parameter substansi dan kerangka kerja, yang mencakup kejelasan klausul operasional, keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang formal seperti arbitrase, serta desain untuk diratifikasi.

  4. Parameter formalisasi dan prosedur, termasuk pendaftaran instrumen kepada Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 102 Piagam PBB.


Menerapkan parameter-parameter tersebut pada Joint Statement on Maritime Cooperation between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China yang ditandatangani di Jakarta dan Beijing pada 9 November 2024, kita menemukan gambaran yang kompleks. Di satu sisi, dokumen ini mengandung elemen-elemen yang mendekati sifat operasional suatu perjanjian, misalnya dengan menyepakati pembentukan Inter-Governmental Joint Steering Committee untuk mengeksplorasi dan memajukan kerjasama di area klaim tumpang-tindih. Pembentukan suatu komite antar-pemerintah merupakan langkah institusional yang konkret. Begitu pula dengan komitmen untuk secara komprehensif melanjutkan kerjasama di seluruh rantai industri perikanan, yang mencakup aspek penangkapan, budidaya, pengolahan, investasi, dan teknologi. Komitmen ini bersifat teknis dan terukur, yang biasanya ditemukan dalam lampiran teknis suatu perjanjian yang mengikat. Namun, di sisi lain, konstruksi bahasa yang digunakan dalam joint statement tersebut secara konsisten menghindari kata-kata yang bersifat imperatif dan mengikat hukum.


Analisis Bahasa dan Substansi: Mengungkap Karakter Politis Joint Statement

Analisis mendalam terhadap teks Joint Statement on Maritime Cooperation mengungkap dominannya bahasa yang bersifat politis dan aspiratif dibandingkan dengan bahasa hukum yang mengikat. Sebagai contoh, dokumen tersebut menyatakan bahwa kedua pihak mencapai "important common understanding on joint development" (pemahaman bersama yang penting mengenai pengembangan bersama). Frasa "common understanding" lebih lemah daripada "agreement" atau "treaty" dan lebih mencerminkan kesepahaman politik. Lebih lanjut, kerjasama akan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip seperti "mutual respect, equality, mutual benefit, flexibility, pragmatism, and consensus-building". Prinsip "fleksibilitas" dan "konsensus" ini, meskipun penting dalam diplomasi, justru mengindikasikan tidak adanya kewajiban yang kaku dan mengikat yang menjadi ciri khas suatu perjanjian hukum. Parameter krusial lainnya adalah ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang formal dalam teks joint statement tersebut. Tidak ditemukan satu klausul pun yang merujuk pada penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional, arbitrase internasional, atau forum hukum lainnya apabila salah satu pihak dianggap melanggar komitmen. Sebaliknya, dokumen hanya menyebutkan pemanfaatan China-Indonesia Technical Committee on Maritime Cooperation (TCM) dan China-Indonesia Maritime Cooperation Fund, yang merupakan forum teknis dan instrument pendanaan, bukan badan yudisial atau kuasi-yudisial.

ree

Ketika terjadi perselisihan, mekanisme yang paling mungkin digunakan adalah konsultasi diplomatik, yang merupakan ciri dari instrumen-instrumen politis. Perbandingan dengan dokumen lain yang dihasilkan dalam kunjungan yang sama semakin memperjelas diferensiasi ini. Pemerintah Indonesia dan Tiongkok secara terpisah menandatangani sejumlah memorandum of understanding di bidang kerjasama sumber daya mineral penting dan kemitraan sumber daya mineral hijau. MoU-MoU teknis ini, meskipun juga tidak sepenuhnya mengikat, cenderung lebih operasional dan menjadi dasar bagi kontrak-kontrak komersial yang mengikat di tingkat pelaku usaha. Sementara itu, Joint Statement berfungsi lebih sebagai pengarah politik (political steering) bagi kerjasama di bidang maritim yang sensitif. Dalam konteks hukum laut, khususnya isu pengembangan bersama di wilayah klaim tumpang-tindih yang sangat kompleks dan sarat kepentingan nasional, pemilihan bentuk joint statement daripada suatu perjanjian batas maritim atau rezim pengembangan bersama yang formal, menunjukkan bahwa kedua negara memilih untuk mempertahankan fleksibilitas dan ruang gerak diplomatik. Keputusan ini secara implisit mengakui bahwa niat para pihak pada saat itu belum matang untuk menciptakan kewajiban hukum yang tegas, melainkan lebih pada membangun kepercayaan dan kerangka politik untuk dialog lebih lanjut.


Solusi: Kerangka Analitis untuk Klasifikasi Instrumen Internasional di Tingkat Nasional

Berdasarkan analisis mendalam terhadap Joint Statement Indonesia-Tiongkok 2024 dan perbandingannya dengan parameter hukum internasional, solusi yang dapat ditawarkan adalah pembuatan suatu kerangka analitis terstruktur yang dapat digunakan oleh Kementerian Luar Negeri dan lembaga pemerintah terkait lainnya untuk mengklasifikasikan setiap instrumen internasional yang akan ditandatangani. Kerangka ini harus bersifat multi-parameter dan wajib diisi sebelum penandatanganan suatu dokumen. Parameter pertama dan terpenting adalah Analisis Niat Mengikat, dengan pertanyaan kunci: "Apakah para pihak, yang dinilai dari teks final, bermaksud untuk menciptakan hubungan hukum?" Indikatornya adalah konsistensi penggunaan bahasa hukum yang imperatif. Parameter kedua adalah Analisis Konsekuensi, menanyakan "Apa konsekuensi hukum jika komitmen ini dilanggar?" Adanya klausul penyelesaian sengketa yang formal menjadi penanda instrumen yang mengikat. Parameter ketiga adalah Analisis Prosedur, menanyakan "Apakah dokumen ini dirancang untuk melalui proses ratifikasi oleh legislatif?" Dokumen yang dirancang untuk ratifikasi, seperti undang-undang persetujuan perjanjian internasional, hampir pasti merupakan perjanjian yang mengikat.


Penerapan kerangka ini akan mencegah ambiguitas di kemudian hari. Sebagai contoh, meskipun Joint Statement on Maritime Cooperation 2024 tidak mengikat, komitmen untuk membentuk Inter-Governmental Joint Steering Committee di dalamnya dapat menghasilkan dokumen-dokumen turunan yang bersifat mengikat di tingkat teknis. Oleh karena itu, kerangka analitis harus bersifat dinamis dan melihat suatu instrumen sebagai bagian dari suatu proses, bukan sebagai produk akhir. Solusi kedua adalah dengan memperkuat aspek perekaman dan dokumentasi (travaux préparatoires) selama proses negosiasi. Catatan-catatan perundingan, meskipun menurut Pasal 32 Konvensi Wina 1969 merupakan alat bantu interpretasi, dapat menjadi bukti yang sangat kuat mengenai niat para pihak jika suatu saat terjadi perselisihan interpretasi terhadap suatu joint statement atau MoU. Dalam konteks Indonesia, hal ini mensyaratkan koordinasi yang lebih erat antara tim negosiator dari berbagai kementerian dengan Pusat Dokumentasi Hukum Internasional di Kementerian Luar Negeri. Pembuatan Naskah Akademik semacam ini untuk setiap instrumen strategis sebelum penandatanganan akan sangat membantu dalam mengklarifikasi niat, sifat, dan konsekuensi hukum dari komitmen yang akan diambil.


Aksi: Strategi Implementasi dan Transformasi Komitmen Politis Menuju Kepastian Hukum

Untuk mentransformasikan komitmen politis dalam Joint Statement menjadi aksi nyata yang memberikan kepastian hukum, diperlukan strategi implementasi yang konkret. Aksi Pertama adalah memastikan bahwa Inter-Governmental Joint Steering Committee yang disepakati segera dibentuk dan diberikan mandat yang jelas, tenggat waktu yang realistis, serta mekanisme pelaporan yang transparan kepada pimpinan kedua negara. Komite ini harus menjadi wadah untuk merumuskan instrumen-instrumen teknis yang lebih mengikat, misalnya suatu Perjanjian Pengembangan Bersama (Joint Development Agreement) yang bersifat legally binding, lengkap dengan klausul tentang pembagian hasil, perlindungan lingkungan, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Aksi Kedua adalah melakukan harmonisasi hukum nasional. Pemerintah Indonesia perlu meninjau keselarasan antara komitmen-komitmen dalam joint statement, khususnya di bidang kerjasama perikanan dan keamanan maritim, dengan regulasi nasional seperti UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan serta peraturan turunannya. Hal ini untuk memastikan bahwa implementasinya di lapangan tidak berbenturan dengan hukum domestik. Aksi Ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah memanfaatkan kerangka kerjasama keamanan yang ditingkatkan. Joint Statement utama kunjungan tersebut menyepakati peningkatan pola kerjasama dari "four pillar" menjadi "five pillar" dengan penambahan pilar keamanan, serta komitmen untuk mengadakan pertemuan pertama 2+2 Dialogue Mechanism for Foreign Ministers and Defense Ministers pada tahun 2025. Forum strategis ini harus dimanfaatkan untuk membahas pengaturan teknis keamanan maritim yang operasional, termasuk Standard Operating Procedures (SOP) untuk interaksi di laut, yang dapat mencegah insiden dan eskalasi di wilayah yang sensitif. SOP semacam ini, meskipun mungkin tidak dipublikasikan sebagai perjanjian publik, dapat memiliki karakter yang mengikat secara operasional bagi angkatan laut dan penjaga pantai kedua negara. Dengan kata lain, aksi-aksi lanjutan inilah yang akan menentukan apakah Joint Statement yang bersifat politis tersebut akan tetap menjadi dokumen deklaratif atau dapat berkembang menjadi fondasi bagi rezim kerjasama hukum yang substantif dan berkelanjutan, khususnya dalam mengelola hubungan di laut China Selatan yang kompleks dan penuh tantangan.


Penutup

Kajian terhadap Joint Statement on Maritime Cooperation Indonesia-Tiongkok 2024 mengonfirmasi bahwa diferensiasi antara perjanjian internasional yang mengikat hukum dan MoU atau joint statement yang bersifat politis terletak pada konstruksi niat para pihak yang tercermin dalam bahasa, substansi, dan kerangka formalitas instrumen tersebut. Meskipun mengandung elemen kerjasama yang konkret, analisis tekstual menunjukkan bahwa joint statement ini didominasi oleh bahasa aspiratif, tidak dilengkapi mekanisme penyelesaian sengketa yang formal, dan karenanya lebih tepat dikategorikan sebagai komitmen politik yang luhur. Karakter ini memberikan fleksibilitas diplomatik yang diperlukan kedua negara untuk membangun kepercayaan dalam membahas isu maritim yang sensitif, namun di sisi lain meninggalkan tantangan implementasi karena ketiadaan daya paksa hukum. Nilai strategis dokumen ini justru terletak pada potensinya sebagai peta jalan (roadmap) politik untuk merancang instrumen hukum yang lebih mengikat di masa depan. Keberhasilan kerjasama ini akan diukur dari kemampuan kedua pemerintah untuk mentransformasikan "pemahaman bersama" menjadi aksi kolektif melalui komite bersama dan dialog keamanan yang telah disepakati. Bagi Indonesia, pendekatan kehati-hatian dan kontekstual semacam ini sangat penting untuk memastikan setiap komitmen internasional, dalam bentuk apapun, dapat dikelola dengan baik dan selaras dengan kepentingan nasional, kedaulatan, serta integritas territorial di laut.

 

Daftar Pustaka
  1. Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969.

  2. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945.

  3. Joint Statement on Maritime Cooperation between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China. Jakarta-Beijing, 9 November 2024.

  4. Aust, Anthony. (2000). Modern Treaty Law and Practice. Cambridge University Press.

  5. Shaw, Malcolm N. (2017). International Law (Edisi ke-8). Cambridge University Press.

  6. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2023). Pedoman Pembuatan dan Pengelolaian Perjanjian Internasional.

  7. Klabbers, Jan. (1996). The Concept of Treaty in International Law. Kluwer Law International.

  8. Permanent Court of Arbitration. (2016). South China Sea Arbitration (The Republic of Philippines v. The People's Republic of China).

  9. United Nations. (2016). Treaty Handbook. Secretariat of the United Nations.

  10. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

  11. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

  12. 1Wiranto, S., (2025) Paradoks Kemitraan Biru Tiongkok dan Diplomasi Maritim Indonesia: Dinamika Pertahanan dan Keamanan di Laut Natuna Utara


Comments


Indo-Pacific Strategic Intelligence

Main Office:
Republic of Indonesia's Defense University (UNHAN) Gedung Sayap Kanan, Ground Floor Jl. Salemba Raya No.3 Jakarta 10440

Representative Office:
ISI c.q. Yayasan Rupa Madani nusantara,
Indonesia Stock Exchange Building, Tower 1 Level 3 Suite 304, SCBD Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta Selatan 12190

  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube

@2024 Indo-Pacific Strategic Intelligence. All Rights Reserved

bottom of page