top of page

Mengatasi Disfungsi Solidaritas: Analisis Kritik Konstruktif Prabowo terhadap Diplomasi Muslim dan Reposisi Indonesia dalam Konflik Palestina

Updated: 2 minutes ago

Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH, MH*

Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn), sehari-hari sebagai Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS), Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia. Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.

Sumber: Sekretariat Negara
Sumber: Sekretariat Negara

Konteks: Krisis Kemanusiaan Gaza dan Kegagalan Diplomasi Multilateral

Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada Konferensi Tingkat Tinggi Internasional untuk Palestina di New York, 22 September 2025, harus ditempatkan dalam dua konteks yang saling bertautan: eskalasi krisis kemanusiaan di Gaza yang mencapai titik nadir dan semakin dalamnya krisis kredibilitas lembaga multilateral. Sejak Oktober 2023, agresi militer telah menewaskan puluhan ribu warga sipil, sebagaimana data dari Otoritas Palestina dan LSM HAM internasional, serta memicu kondisi kelaparan yang oleh World Food Programme (WFP) digambarkan sebagai bencana kemanusiaan terparah dalam beberapa dekade terakhir. Di tengah situasi ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengalami paralysis akibat penggunaan hak veto yang berulang, sementara forum-forum konsultasi tradisional seperti Liga Arab dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dinilai banyak pengamat, termasuk dari Carnegie Endowment for International Peace, belum mampu menghasilkan tekanan politik yang efektif untuk menghentikan kekerasan. Oleh karena itu, konferensi yang diinisiasi bersama oleh Prancis dan Arab Saudi ini merupakan upaya untuk mencari terobosan di luar kanal diplomatik yang telah mandek. Pidato Presiden Prabowo, dalam konteks ini, muncul bukan hanya sebagai reiterasi dukungan tradisional Indonesia, tetapi sebagai sebuah intervensi kritis yang bernuansa introspeksi, yang berusaha menjangkau akar permasalahan yang lebih dalam yang menghambat penyelesaian konflik, termasuk yang berasal dari internal tubuh umat Muslim sendiri.


Analisis Masalah: Kritik Tajam terhadap Disfungsi Solidaritas dan Retorika Kosong Dunia Muslim

Sumber: CNN
Sumber: CNN

Sebagian besar analisis masalah dalam pidato Presiden Prabowo justru diarahkan secara reflektif dan kritis kepada ketidakefektifan negara-negara Muslim sendiri, sebuah pendekatan yang jarang ditemui dalam pidato resmi di forum internasional. Dengan menyoroti fakta bahwa “di Libya, sesama pemimpin Muslim bertentangan dengan sesama pemimpin Muslim” dan hal serupa terjadi “di Yaman, pemimpin Muslim melawan pemimpin Muslim”, Presiden Prabowo secara implisit mengidentifikasi sebuah disfungsi solidaritas yang mendalam. Kritik ini menyentuh pada persoalan fragmentasi geopolitik di dunia Muslim yang membuatnya tidak mampu menyajikan front yang bersatu dan koheren dalam memperjuangkan kepentingan kolektif, termasuk isu Palestina. Pertanyaan retoris “Bagaimana kita bisa benar-benar membantu rakyat Palestina jika kita hanya berbicara di antara kita sendiri?” merupakan sebuah tantangan langsung terhadap model diplomasi yang selama ini berjalan, yang seringkali berakhir dalam ruang gema (echo chamber) tanpa dampak nyata. Pengakuan jujur bahwa “Negara-negara Muslim tahu apa yang terjadi, tetapi kenyataannya kita tidak dihormati” dan bahwa “Mereka tidak peduli pada suara kita” mengungkap sebuah realitas pahit tentang marginalisasi suara kolektif dunia Muslim dalam percaturan politik global. Analisis ini menyimpulkan bahwa akar masalahnya tidak hanya terletak pada blokade diplomatik dari pihak lain, tetapi juga pada ketidakmampuan internal untuk mentransformasikan solidaritas moral menjadi kekuatan politik yang efektif dan bargaining power yang nyata, sehingga yang dihasilkan hanyalah “deklarasi dukungan” dan “resolusi demi resolusi” yang tidak memiliki daya paksa.


Solusi: Dari Retorika ke Aksi melalui Grand Bargain yang Realistis dan Penawaran Kondisional

Berdasarkan analisis masalah yang jujur tersebut, pidato Presiden Prabowo kemudian membangun sebuah kerangka solusi yang dirancang untuk keluar dari jebakan retorika dengan menawarkan sebuah grand bargain yang realistis dan berorientasi pada insentif. Solusi Dua Negara ditegaskan kembali bukan sebagai slogan, tetapi sebagai tujuan operasional yang memerlukan langkah-langkah transaksional yang jelas. Pernyataan kondisional bahwa Indonesia akan mengakui Israel “setelah Israel mengakui kemerdekaan dan status kenegaraan Palestina” merupakan jantung dari proposal ini. Posisi ini bersifat strategis dan transformative karena mengubah paradigma dukungan Indonesia dari yang bersifat absolut dan tidak bersyarat menjadi proposisional dan konstruktif. Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya menuntut pengakuan bagi Palestina, tetapi juga menawarkan sesuatu yang sangat bernilai bagi Israel, yaitu normalisasi hubungan diplomatik dengan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang selama ini menjadi simbol perlawanan. Penawaran ini merupakan sebuah instrumen diplomasi yang cerdik untuk memecah kebuntuan dengan menciptakan sebuah jalur perdamaian yang paralel, di mana Indonesia bertindak sebagai pihak penjamin (guarantor) bagi keamanan Israel dalam sebuah tatanan pasca-konflik. Solusi ini secara langsung menjawab kritik internalnya sendiri karena ia bergerak melampaui “sekadar berdiskusi” menuju penawaran konkret yang memerlukan komitmen timbal balik (reciprocal commitment) dari semua pihak, termasuk Israel.


Seruan untuk Aksi Kolektif yang Kredibel dan Peran Indonesia sebagai Penjaga Perdamaian

Seruan untuk aksi dalam pidato ini memperoleh kredibilitasnya justru karena diawali dengan kritik yang mendasar terhadap pendekatan lama. Presiden Prabowo menuntut sebuah pergeseran paradigma dari menghasilkan dokumen-dokumen politik menuju implementasi tindakan nyata yang langsung berdampak. Penegasan bahwa “sudah tiba waktunya” dan bahwa rakyat Palestina “membutuhkan keberpihakan nyata, mereka membutuhkan tindakan yang konkret” adalah seruan untuk mengakhiri era diplomasi yang hanya berputar pada siklus pertemuan dan pernyataan tanpa akhir. Dalam kerangka inilah, penawaran Indonesia untuk “memberikan pasukan penjaga perdamaian” memperoleh makna strategisnya. Penawaran ini merupakan wujud nyata dari komitmen untuk bertindak, yang membedakan Indonesia dari sekadar pengkritik. Sebagai kontributor pasukan perdamaian PBB yang berpengalaman, seperti dalam United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) sejak 2006 dan United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo (MONUSCO), Indonesia memiliki kapabilitas dan kredensial untuk mengambil peran ini. Dengan menawarkan pasukan, Indonesia mengubah posisinya dari advocate menjadi potential implementer perdamaian, sebuah langkah yang secara langsung menanggapi tantangannya sendiri tentang perlunya tindakan nyata. Aksi ini, however, memerlukan persiapan strategis yang matang, termasuk assessment kemampuan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI, serta negosiasi mandat yang jelas di Dewan Keamanan PBB untuk memastikan misi tersebut memiliki perlindungan dan sumber daya yang memadai.


Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi: Membangun Koalisi Aksi yang Efektif Pasca-Kritik Konstruktif

Implikasi kebijakan dari pidato yang kritis dan transformatif ini sangatlah mendalam, menuntut reorientasi strategi diplomasi Indonesia yang lebih luas. Pertama, Indonesia perlu memimpin upaya membangun koalisi negara-negara Muslim yang progresif dan bersedia untuk mengadopsi pendekatan berbasis aksi yang serupa, dengan fokus pada isu-isu yang dapat memecah kebuntuan seperti pengakuan bersyarat dan bantuan kemanusiaan yang tidak terhalang. Kedua, pernyataan kondisional mengenai pengakuan Israel harus segera ditindaklanjuti dengan kajian hukum dan politik yang mendalam di Kementerian Luar Negeri untuk merumuskan parameter yang jelas dan dapat dinegosiasikan, misalnya dengan mendefinisikan tahapan-tahapan menuju pengakuan kenegaraan Palestina yang sah di mata hukum internasional. Ketiga, penawaran pasukan perdamaian harus diintegrasikan ke dalam sebuah proposal kebijakan yang komprehensif yang mencakup skenario deploymen, jenis pasukan, dan kerangka mandat yang diusulkan kepada PBB, sehingga tidak dianggap sebagai retorika semata. Keempat, diplomasi publik Indonesia harus gencar mengkomunikasikan posisi baru yang konstruktif dan berorientasi solusi ini kepada publik domestik dan internasional untuk mendapatkan dukungan yang luas dan mengikis pandangan yang selama ini melihat dukungan Muslim terhadap Palestina sebagai emosional dan tidak praktis. Kelima, sebagai penutup, pidato Presiden Prabowo telah berhasil membuka ruang diskursus baru yang lebih jujur dan efektif. Keberhasilan mentransformasikan kritik konstruktif ini menjadi aksi kebijakan yang terkoordinasi akan menentukan apakah Indonesia dapat menjadi katalisator bagi lahirnya solidaritas Muslim yang lebih fungsional dan berdampak dalam percaturan global.




Comments


Indo-Pacific Strategic Intelligence

Main Office:
Republic of Indonesia's Defense University (UNHAN) Gedung Sayap Kanan, Ground Floor Jl. Salemba Raya No.3 Jakarta 10440

Representative Office:
ISI c.q. Yayasan Rupa Madani nusantara,
Indonesia Stock Exchange Building, Tower 1 Level 3 Suite 304, SCBD Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta Selatan 12190

  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube

@2024 Indo-Pacific Strategic Intelligence. All Rights Reserved

bottom of page