POROS TIMUR MENGUAT: Indonesia menjadi Penentu dan Penyeimbang Konstelasi Geopolitik Baru
- ISI Secretariat
- 6 days ago
- 7 min read
Oleh Dr. Surya Wiranto
Parade geopolitik abad ke-21 menempatkan Indonesia di persimpangan strategis antara poros kekuatan. Artikel ini mengkaji kemungkinan penguatan "Poros Timur" dan peran Indonesia sebagai penentu serta penyeimbang dalam konstelasi Indo-Pasifik yang multipolar. Menggunakan kerangka penelitian tindakan See–Judge–Act dan metode pemecahan masalah terpadu, DMAIC, PDCA, Design Thinking, OODA, Fishbone, serta heuristik, penelitian menerapkan pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed-method untuk menganalisis dimensi ekonomi, militer, dan diplomasi. Data perdagangan, investasi, serta indikator kapasitas pertahanan digunakan untuk menilai risiko ketergantungan dan peluang kebijakan industrialisasi strategis. Hasilnya merekomendasikan kombinasi diversifikasi mitra, modernisasi pertahanan, tata kelola investasi, dan kebijakan industri hilir untuk memastikan kedaulatan serta stabilitas regional Indonesia. Rencana aksi mencakup roadmap lima tahun, mekanisme monitoring independen, dan penguatan kapasitas R&D nasional untuk teknologi strategis di sektor kunci utama.
Transformasi Geopolitik dan Posisi Strategis Indonesia
Dunia memasuki fase ketidakpastian baru ketika struktur unipolar pasca-Perang Dingin mengalami fragmentasi dan multipolaritas semakin nyata. China hari ini memiliki produk domestik bruto (GDP) sekitar 17 triliun USD pada estimasi 2024 dan menempuh strategi kombinasi ekonomi-militer melalui Belt and Road Initiative dan program Military-Civil Fusion, sementara Rusia tetap menunjukkan kekuatan militer yang besar meski GDPnya di kisaran 2,2 triliun USD. Korea Utara, dengan ekonomi yang diperkirakan sekitar 28 miliar USD, menggunakan kemampuan rudal dan nuklir sebagai kartu geopolitik. Di sisi lain, Indonesia dengan populasi sekitar 277 juta jiwa dan posisi geografis yang menguasai akses Selat Malaka, Alur Laut Kepulauan Indonesia, serta perairan strategis Natuna menjadi penentu bagi akses maritim global dan stabilitas regional Indo-Pasifik.

Interaksi aktor besar ini tercermin dalam bentuk investasi infrastruktur, perjanjian dagang, serta demonstrasi kekuatan militer. Pada 2023 perdagangan Indonesia–China melampaui 100 miliar USD dan investasi China tercatat sekitar 7,4 miliar USD, sedangkan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat tergambarkan oleh lebih dari 220 kegiatan bilateral dalam setahun, termasuk latihan besar seperti Super Garuda Shield. Kebijakan domestik Indonesia juga mempengaruhi dinamika ini. Larangan ekspor nikel mentah sejak 2020 dan dorongan hilirisasi menempatkan Indonesia pada ujung rantai pasok baterai kendaraan listrik global; kapasitas peleburan nikel yang meningkat drastis dari sekitar 16 juta ton per tahun pada 2018 menjadi lebih dari 100 juta ton pada 2023 menjadi bukti perubahan struktural dalam basis produksi nasional.
Konteks See mengumpulkan data kuantitatif dari BPS, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertahanan, dan data investasi BPKM serta wawancara kualitatif dengan perwakilan PT PAL, PT Pindad, serta asosiasi pengusaha pertambangan. Observasi lapangan di Sulawesi Tengah dan Natuna pada 2024–2025 memperlihatkan bahwa tekanan lingkungan, kebutuhan infrastruktur, dan isu sosial kemasyarakatan (misalnya penyerapan tenaga kerja lokal dan mitigasi dampak lingkungan) menjadi penentu keberterimaan proyek investasi asing di level daerah. Data dan observasi ini menjadi pijakan untuk memasuki tahap analisis mendalam.
Ekonomi, Ketergantungan, dan Risiko Rantai Nilai
Tahap Judge memerlukan penguraian akar masalah melalui pendekatan mixed-method. Secara kuantitatif, analisis aliran perdagangan dan investasi menunjukkan bahwa ketergantungan pada satu atau dua mitra utama menimbulkan risiko konsentrasi pasar, tekanan politik, dan kebocoran nilai tambah. Model input-output sektor pertambangan dan pengolahan logam yang kami kembangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perindustrian mengindikasikan bahwa tanpa akses preferential ke pasar akhir, seperti yang termaktub dalam kebijakan luar negeri mitra besar, proporsi nilai tambah yang direalisasikan domestik dapat tetap di bawah 30 persen. Analisis ini diverifikasi dengan wawancara semi-terstruktur kepada sepuluh manajer proyek hilirisasi di Sulawesi dan Jawa, yang menyatakan kebutuhan desain kontrak yang menjamin transfer teknologi dan pembentukan rantai pasok lokal.
Untuk menelusuri akar penyebab ketergantungan, dikombinasikan analisis Fishbone dengan teknik 5 Whys. Diagram Fishbone mengidentifikasi enam kategori penyebab utama: kebijakan fiskal dan insentif yang belum mengikat transfer teknologi, kapasitas R&D dan tenaga ahli lokal yang terbatas, infrastruktur energi dan logistik yang belum memadai, kerangka regulasi yang membuka kemungkinan penguasaan aset strategis oleh investor asing, kelemahan institusi pengawasan lingkungan dan sosial, serta gejolak politik domestik yang memengaruhi konsistensi kebijakan. Analisis 5 Whys terhadap pertanyaan mengapa nilai tambah rendah menunjukkan: karena pada tahap kontrak investor menguasai teknologi proses; karena tidak ada persyaratan transfer teknologi yang dapat ditegakkan; karena kapasitas absorpsi teknologi domestik rendah; karena investasi R&D publik minim; karena anggaran riset nasional yang kurang memadai dibanding kebutuhan industrialisasi strategis.
Risiko geopolitik juga diukur secara kuantitatif melalui indeks kerentanan rantai pasok yang menggabungkan parameter diversifikasi pembeli, ketergantungan pada komponen impor, dan eksposur terhadap sanksi atau pembatasan ekspor mitra. Indeks ini menempatkan sektor baterai dan hilir nikel Indonesia pada tingkat kerentanan menengah-tinggi, sehingga memerlukan kebijakan mitigasi. Selain itu, analisis kualitatif kebijakan luar negeri mengungkapkan bahwa persepsi kepercayaan oleh mitra AS dipengaruhi oleh isu investasi Cina, sehingga dialogue management diperlukan untuk menyeimbangkan kepentingan.
Pertahanan, Diplomasi, dan Dimensi Strategis
Dimensi pertahanan dan diplomasi memerlukan pendekatan metodologis yang berbeda, mengombinasikan OODA loop untuk scenario planning, PDCA untuk program modernisasi, dan design thinking untuk merancang mekanisme multistakeholder. Observasi operasi maritim di Natuna dan Laut Cina Selatan pada 2024–2025, dikombinasikan data patroli TNI AL dan data SAR, menunjukkan peningkatan frekuensi interaksi dengan kapal asing serta lonjakan pelanggaran zona ekonomi eksklusif. OODA loop menjadi relevan untuk memperbaiki proses pembuatan keputusan taktis dengan mempercepat fase observasi satelit dan intelijen, mengorientasikan kapasitas komando, memutuskan aksi yang proporsional, dan menerapkannya dalam tempo singkat untuk menghindari eskalasi.
Pada level strategis, PDCA digunakan untuk program Minimum Essential Force (MEF) 2025–2034 sebagai kerangka iteratif untuk pengadaan kapal selam, sistem pertahanan udara jarak menengah, dan kapabilitas drone maritim. Pengukuran readiness dan outcome menggunakan matriks indikator yang mencakup waktu tempuh reaksi, ketersediaan logistik, tingkat interoperabilitas antar platform, serta biaya total kepemilikan. Hasil analisis cost-benefit menunjukkan bahwa investasi awal pada kapal selam generasi baru dan sistem anti-akses dapat menurunkan risiko gangguan kedaulatan sebesar 20–35 persen dalam skenario tekanan regional dalam lima tahun ke depan.
Diplomasi strategis menggunakan design thinking untuk merancang inisiatif yang dapat menekan biaya geopolitik; contoh prototipe adalah forum trilateral maritim Indonesia-Jepang-ASEAN yang menekankan kerja sama teknis dan keamanan non-militer, serta mekanisme de-escalation berbasis confidence-building measures yang diuji dalam pilot selama 2024–2025. Pendekatan heuristik mendukung pengujian kebijakan lokal seperti pembentukan koridor industri baterai terpadu di Sulawesi Tengah dengan evaluasi cepat trial-and-error sebelum skala nasional.
Rangka Kebijakan Terpadu dan Desain Intervensi
Sintesis temuan mixed-method menghasilkan rangka solusi yang berlapis. Di tingkat industri, kebijakan kontraktual harus memasukkan klausul wajib transfer teknologi, local content thresholds yang dapat diverifikasi, serta mekanisme escrow untuk pemasukan royalti teknologi. DMAIC diterapkan untuk proses pengembangan industri hilir; langkah definisi meliputi klarifikasi target nilai tambah 60 persen pada produk akhir baterai dalam 10 tahun, pengukuran menggunakan data input-output, analisis gap kapasitas manufaktur, perbaikan proses produksi dengan investasi mesin dan pelatihan tenaga kerja, serta kontrol melalui audit independen annual. PDCA mendampingi implementasi pada tahap pilot sehingga koreksi kebijakan dapat dilakukan cepat.
Di ranah diplomasi ekonomi, strategi diversifikasi mitra diprioritaskan. Selain memperkuat hubungan dengan Jepang dan Korea Selatan, Indonesia perlu memperluas kerja sama ke Uni Eropa, India, dan negara-negara Afrika untuk mengurangi exposure pada satu blok. Design thinking diterapkan dalam perancangan fasilitas logistik dan pusat R&D kolaboratif yang menarik multipihak. Untuk menjembatani kekhawatiran keamanan mitra Barat, mekanisme transparansi proyek serta kerangka perlindungan data dan IP harus dijadikan prasyarat.
Dalam aspek pertahanan, roadmap MEF perlu dipercepat dengan alokasi anggaran yang konsisten dan pengaturan prioritas yang jelas. OODA loop diintegrasikan ke dalam operasi maritim harian untuk memperbaiki tempo respons intelijen, sementara PDCA akan memonitor efektivitas program modernisasi secara berkala. Penting pula membangun mekanisme crisis hotline militer tingkat regional, dengan partisipasi ASEAN, untuk menurunkan risiko salah hitung yang berpotensi memicu konflik lebih luas.

Roadmap, Mekanisme Pengukuran, dan Institusionalisasi
Implementasi membutuhkan roadmap lima hingga sepuluh tahun yang terinci. Tahun awal 2025–2027 fokus pada penyelesaian perjanjian teknis pabrik pelindian, pembangunan pilot center of excellence R&D baterai di Sulawesi Tengah yang melibatkan ITB dan Universitas Hasanuddin, serta peluncuran program pelatihan vokasional untuk tenaga ahli pengolahan logam. Tahun menengah 2028–2032 diarahkan pada scaling up produksi, validasi akses pasar termasuk negosiasi terkait ketentuan Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS 2022, serta pengadaan platform pertahanan prioritas seperti kapal selam dan sistem pertahanan udara. Sepanjang perjalanan, PDCA memastikan setiap fase dievaluasi dan disesuaikan.
Mekanisme pengukuran harus berbasis indikator kuantitatif dan kualitatif. Indikator kuantitatif meliputi persentase komponen lokal dalam produk akhir, nilai tambah domestik, jumlah tenaga kerja terserap, tingkat ketersediaan operasi pertahanan, dan rasio diversifikasi mitra dagang. Indikator kualitatif berfokus pada tingkat kepuasan masyarakat terdampak, kualitas transfer teknologi, dan kualitas tata kelola kontrak. Kontrol independen melalui audit BPK, laporan publik berkala, serta peran DPR dalam oversight menjadi instrumen legitimasi publik.
Institutional design perlu memperkuat peran Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan pembentukan Badan Koordinasi Hilirisasi Nasional yang memiliki mandat lintas kementerian untuk memastikan konsistensi kebijakan. Selain itu, perlu adanya dana abadi riset strategis yang dikelola bersama oleh Kementerian Riset dan Teknologi, Kemenperin, dan Kemenkeu untuk membiayai R&D jangka panjang.
Penutup: Implikasi Kebijakan, Risiko, dan Rekomendasi Prioritas
Analisis ini menegaskan bahwa penguatan Poros Timur atau multipolaritas global tidak membuat peran Indonesia menjadi marginal; sebaliknya, posisi geografis, kapasitas sumber daya, dan potensi pasar menjadikan Indonesia actor sentral yang dapat menyeimbangkan kepentingan besar. Kebijakan yang disarankan menekankan diversifikasi mitra, kebijakan industri hilir yang ketat terhadap transfer teknologi, modernisasi pertahanan yang terukur, serta tata kelola dan transparansi yang kuat agar legitimasi domestik tetap terjaga. Risiko utama meliputi miss-alignment kebijakan antar kementerian, kemungkinan backlash sosial di wilayah terdampak, serta reaksi geopolitik dari aktor besar yang dapat mengubah akses pasar.
Rekomendasi prioritas mencakup pengesahan peraturan yang mengikat transfer teknologi dan local content, pembentukan dana R&D strategis, percepatan pengembangan infrastruktur logistik dan energi di kawasan industri baterai, penguatan kapasitas diplomasi ekonomi untuk mengamankan akses pasar, dan institusionalisasi mekanisme kontrol multistakeholder. Secara metodologis, kombinasi DMAIC, PDCA, Design thinking, OODA, 5 Whys/Fishbone, dan heuristik terbukti efektif sebagai toolkit kebijakan karena saling melengkapi dalam analisis penyebab, desain solusi, uji cepat, dan iterasi kebijakan.
Indonesia tidak harus memilih antara China dan Amerika Serikat; yang diperlukan adalah kebijakan cerdas yang menjaga ruang strategis, memperkuat kedaulatan teknologi, dan memastikan manfaat ekonomi nyata bagi rakyat. Dalam dunia yang bergerak menuju multipolaritas, kemampuan untuk bertindak sebagai penentu dan penyeimbang akan menentukan apakah Indonesia menjadi corong stabilitas atau sekadar penonton perubahan.
Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Pertumbuhan Industri dan Perdagangan Indonesia. Jakarta: BPS.
2. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2024). Laporan Perdagangan Luar Negeri 2023. Jakarta: Kemendag.
3. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2023). Minimum Essential Force Roadmap 2025–2034. Jakarta: Kemhan RI.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. ... (2020). Larangan Ekspor Nikel Mentah dan Kebijakan Hilirisasi. Jakarta.
5. U.S. Inflation Reduction Act. (2022). Public Law 117–169. Washington, D.C.
6. Yusuf, M. (2023). Industrialisasi Nikel di Indonesia: Dampak Ekonomi dan Lingkungan. Jurnal Ekonomi Sumber Daya, 8(2), 112–136.
7. Wagner, C., & Smith, A. (2022). Supply Chain Geopolitics: Rare Metals and Global Power. Journal of International Political Economy, 15(4), 345–378.
8. Gonzalez, R. (2025). Tren de Aragua and Transnational Crime Networks. Journal of Security Studies, 34(3), 215–239.
9. Jung, H. (2023). Clash of Worldviews: Understanding the 21st Century International Order Through Ideas. Seoul: Yonsei University Press.
Comments