top of page

Diplomasi Moderat Indonesia dalam Krisis Timur Tengah: Refleksi atas Kepemimpinan Presiden Prabowo di Panggung Global

Oleh Dr. Surya Wiranto, SH MH[1]

Penulis adalah purnawirawan Laksamana Muda TNI Angkatan Laut, Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia–Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Beliau juga aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.


Abstrak 

Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan arah baru dalam diplomasi global yang menegaskan kembali peran Indonesia sebagai kekuatan Muslim moderat yang mengutamakan perdamaian dan stabilitas kawasan. Dalam konteks konflik Timur Tengah dan inisiatif perdamaian yang melibatkan Amerika Serikat serta Israel-Palestina, diplomasi Indonesia tampil dengan karakteristik pragmatis, aktif, dan non-konfrontatif. Naskah ini menganalisis secara komprehensif dinamika geopolitik yang melingkupi upaya Indonesia untuk berkontribusi dalam penyelesaian konflik regional tanpa mengorbankan prinsip non-blok dan independensi politik luar negerinya. Melalui pendekatan moderat dan orientasi pembangunan, Indonesia di bawah Prabowo memperlihatkan kapasitas kepemimpinan yang konstruktif di tengah rivalitas kekuatan besar dunia.


Kata Kunci: Diplomasi moderat, Prabowo Subianto, politik luar negeri, Timur Tengah, perdamaian global, geopolitik Indonesia


Konteks Geopolitik dan Transformasi Diplomasi Indonesia
Prabowo HUT TNI 80
Sumber: BPMI Sekretariat Presiden/Muchlis Jr

Diplomasi Indonesia sejak awal kemerdekaan dibangun atas fondasi politik bebas aktif yang menolak keterikatan pada blok kekuatan besar, sekaligus menegaskan peran aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Prinsip ini mengalami revitalisasi di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terutama dalam menghadapi turbulensi geopolitik global pasca-perang di Gaza dan meningkatnya rivalitas strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Di tengah situasi internasional yang sarat ketegangan, Indonesia berupaya menegaskan posisinya bukan sebagai pengikut arus kekuatan besar, melainkan sebagai jembatan strategis antara dunia Barat dan dunia Islam.


Konteks yang menjadi latar naskah ini adalah undangan resmi Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump kepada delapan pemimpin negara berpenduduk Muslim, termasuk Indonesia, untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian bersejarah yang diharapkan dapat mengakhiri konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Dalam kesempatan tersebut, Indonesia menyuarakan posisi khasnya: mendukung proses perdamaian dengan tetap menegaskan pentingnya pengakuan terhadap negara Palestina sebagai prasyarat utama bagi stabilitas kawasan. Keikutsertaan Presiden Prabowo dalam forum tersebut menandai reposisi diplomasi Indonesia yang berani, visioner, dan realistis, sebagai ciri khas dari strategi moderasi yang kini menjadi identitas baru diplomasi Indonesia di era multipolar.


Dalam forum PBB di New York tahun 2025, Presiden Prabowo mengemukakan pandangan bahwa jika Israel mengakui kedaulatan Palestina, maka negara-negara Muslim dapat mempertimbangkan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Pernyataan ini mencerminkan keberanian politik luar negeri yang tidak dogmatis, namun berakar pada prinsip keadilan dan perdamaian. Pandangan tersebut menuai pro dan kontra, namun sekaligus mempertegas peran Indonesia sebagai kekuatan moral yang mampu berbicara dengan rasional di tengah konflik identitas dan ideologi global.


Analisis Masalah: Rivalitas Global dan Ruang Manuver Diplomasi Indonesia

Tantangan utama diplomasi Indonesia di bawah Prabowo adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme dalam konteks rivalitas kekuatan besar serta ketegangan kawasan. Di satu sisi, Amerika Serikat berupaya mengonsolidasikan dukungan dari negara-negara Muslim moderat untuk mendukung proses perdamaian yang sejalan dengan kepentingan geopolitik Washington. Di sisi lain, Tiongkok berupaya memperkuat pengaruhnya melalui investasi strategis di dunia Islam dan kawasan Indo-Pasifik. Posisi Indonesia di tengah dua kekuatan tersebut memerlukan kehati-hatian strategis agar tidak terjebak dalam politik aliansi eksklusif.


Krisis Gaza tahun 2025 memperlihatkan betapa kompleksnya diplomasi multilateral di kawasan Timur Tengah. Indonesia menyadari bahwa pendekatan retoris tidak lagi memadai untuk menciptakan perubahan konkret. Oleh karena itu, strategi diplomasi Prabowo menekankan pendekatan tiga jalur: pertama, moral diplomacy yang berakar pada prinsip kemanusiaan universal; kedua, strategic pragmatism yang mendorong keterlibatan langsung dalam forum internasional; dan ketiga, developmental diplomacy yang menempatkan stabilitas ekonomi sebagai basis perdamaian jangka panjang.


Dalam konteks ini, Indonesia tampil bukan sebagai kekuatan normatif semata, tetapi sebagai aktor strategis yang mampu menyinergikan kepentingan nasional dengan komitmen global. Keputusan untuk menyatakan kesiapan mengirim pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping troops) ke wilayah konflik mencerminkan kesiapan Indonesia berkontribusi nyata, bukan hanya secara simbolik. Pendekatan ini memperkuat posisi Indonesia di Dewan Keamanan PBB dan memperluas jejaring kepercayaan dengan negara-negara Timur Tengah.


Solusi: Moderasi sebagai Strategi Diplomasi Baru Indonesia

Konsep diplomasi moderat yang dijalankan Presiden Prabowo mencerminkan pembaruan strategis dari politik bebas aktif. Moderasi tidak berarti netralitas pasif, melainkan keterlibatan aktif dengan pendekatan seimbang, terbuka, dan berbasis kepentingan nasional jangka panjang. Dalam kerangka ini, Indonesia memosisikan dirinya sebagai honest broker yang kredibel di antara pihak-pihak yang berkonflik, baik di kawasan Timur Tengah maupun di Indo-Pasifik.


Diplomasi moderat juga menjadi strategi penting untuk menjaga keutuhan identitas Indonesia sebagai negara Muslim terbesar yang demokratis. Dalam pidato di Sidang Umum PBB, Presiden Prabowo menegaskan bahwa perdamaian dunia tidak dapat dicapai melalui kekerasan, melainkan melalui keadilan sosial dan pembangunan yang inklusif. Pandangan ini memperluas pemaknaan soft power Indonesia yang kini tidak hanya berbasis pada budaya dan kemanusiaan, tetapi juga pada kepemimpinan moral dan kemampuan menyusun agenda global yang realistis.


Dalam praktiknya, pendekatan moderat ini diterjemahkan melalui diplomasi ekonomi, keamanan, dan kemanusiaan yang saling melengkapi. Indonesia tidak hanya mendukung gencatan senjata di Gaza, tetapi juga mendorong mekanisme distribusi bantuan kemanusiaan yang transparan melalui lembaga internasional seperti PBB dan OIC (Organization of Islamic Cooperation). Pendekatan ini memperkuat reputasi Indonesia sebagai negara yang memiliki kemampuan diplomasi lintas blok dan lintas budaya.


Aksi: Kepemimpinan Prabowo dan Reposisi Indonesia di Panggung Global

Kepemimpinan Presiden Prabowo di arena internasional memperlihatkan gaya diplomasi yang menggabungkan ketegasan nasionalisme dengan visi kosmopolitan. Dalam berbagai pertemuan multilateral, termasuk di Washington dan Kairo pada Oktober 2025, Prabowo menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia tidak semata-mata defensif, tetapi proaktif dalam membentuk arsitektur perdamaian regional. Perjalanan mendadak ke Mesir pada malam hari dan kembalinya beberapa jam kemudian menggambarkan ketepatan waktu dan keseriusan Indonesia dalam memainkan peran diplomatiknya.


Keterlibatan aktif Indonesia dalam isu Timur Tengah juga mencerminkan evolusi diplomasi pertahanan. Indonesia tidak lagi hanya berperan sebagai pengamat, tetapi sebagai pelaku yang siap mengambil tanggung jawab internasional, termasuk penyediaan pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Pendekatan ini sekaligus memperkuat citra TNI sebagai kekuatan profesional dengan mandat global, sejalan dengan konsep global citizenship defense yang mulai diterapkan dalam kebijakan luar negeri pertahanan nasional.


Aksi konkret diplomasi ini diimbangi dengan upaya dalam negeri untuk memperkuat tata kelola, pemberantasan korupsi, dan reformasi hukum. Prabowo memahami bahwa kredibilitas diplomasi luar negeri bergantung pada stabilitas dan keadilan domestik. Dengan demikian, kebijakan luar negeri Indonesia tidak terlepas dari agenda pembangunan nasional yang berfokus pada pemerataan ekonomi dan penegakan hukum, baik di tingkat desa maupun nasional.


Penutup: Harapan Baru Diplomasi Indonesia

Diplomasi Indonesia di bawah Prabowo Subianto menandai babak baru dalam sejarah politik luar negeri yang lebih adaptif terhadap dinamika global tanpa kehilangan akar ideologisnya. Pendekatan moderat, pragmatis, dan inklusif menjadi fondasi bagi terciptanya peran Indonesia sebagai kekuatan penengah yang disegani. Dalam konteks konflik Timur Tengah, pernyataan berani Presiden Prabowo di forum internasional menunjukkan bahwa kepemimpinan moral dan rasional dapat berjalan seiring dalam menciptakan peluang perdamaian yang realistis.


Ke depan, keberlanjutan diplomasi moderat Indonesia memerlukan konsistensi kebijakan, dukungan institusional, dan penguatan kapasitas diplomatik di berbagai lini. Tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan rivalitas teknologi membutuhkan diplomasi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga visioner. Dalam kerangka tersebut, diplomasi moderat Indonesia menjadi cerminan dari strategic leadership yang menempatkan perdamaian sebagai investasi masa depan bangsa.


Dengan demikian, naskah ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan Prabowo Subianto menghadirkan paradigma baru bagi diplomasi Indonesia: tegas tanpa konfrontatif, aktif tanpa intervensi, dan moderat tanpa kehilangan prinsip. Paradigma inilah yang berpotensi menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dan strategis dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil dan damai.

Daftar Pustaka
  1. Anwar, D. F. (2024). Indonesia’s Foreign Policy under the New Administration: Continuity and Change. CSIS Indonesia Policy Brief Series.

  2. Department of Foreign Affairs of Indonesia. (2025). Statement at the United Nations General Assembly 2025: Peace, Justice, and Global Partnership. Jakarta: DFA Press.

  3. Emmerson, D. K. (2023). Muslim Democracy and the Indonesian Example. Journal of Southeast Asian Studies, 54(2), 145–162.

  4. Subianto, P. (2025, October 13). Speech at the 80th United Nations General Assembly. New York: UN Digital Library.

  5. Suryadinata, L. (2022). Indonesia’s Foreign Policy: From Sukarno to Jokowi. ISEAS–Yusof Ishak Institute.

  6. Widodo, J. (2020). Strategic Culture and the Indonesian Approach to International Cooperation. Bandung Journal of Global Studies, 11(1), 33–52.

Comments


bottom of page