China’s Victory Day Parade – Power & Geopolitics on Display, dan Apa Kepentingan Indonesia Menghadiri Parade Ini?
- ISI Secretariat
- 10 minutes ago
- 5 min read
Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH MH[1]
[Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, SH MH, sehari-hari sebagai Anggota FOKO, Kadep Kejuangan PEPABRI, Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Beliau juga sebagai Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia.]
Pendahuluan
Victory Day Parade di Lapangan Tiananmen pada 1 Oktober 2025 tidak hanya diposisikan sebagai agenda peringatan historis, tetapi juga instrumen proyeksi kekuatan Tiongkok kepada dunia internasional. Dengan melibatkan lebih dari 12.000 personel militer, 500 unit persenjataan berat, dan sekitar 200 pesawat tempur berbagai jenis, parade ini menjadi demonstrasi visual atas kekuatan militer modern Tiongkok yang semakin kompetitif dibandingkan dengan negara-negara Barat. Xi Jinping, dalam pidato pembukaannya, menekankan bahwa “Tiongkok tidak akan pernah tunduk pada kekuatan asing dan siap menjaga perdamaian dunia berdasarkan keadilan internasional.” Pesan ini jelas diarahkan untuk menantang narasi dominasi Amerika Serikat yang sejak Perang Dunia II menjadi penjaga utama keamanan global.
Teknologi yang ditampilkan menjadi sorotan utama. Rudal hipersonik DF-27 dengan jangkauan 5.000–8.000 km yang diyakini mampu menembus sistem pertahanan rudal Amerika, menandai perubahan signifikan dalam kalkulasi strategis global. Drone siluman generasi kelima, dengan kecerdasan buatan yang mampu melakukan manuver otonom, menunjukkan lompatan teknologi dalam perang asimetris. Tank Type-99A yang sudah dilengkapi sensor modern dan sistem komunikasi digital memperlihatkan kesiapan Tiongkok menghadapi perang darat modern. Kehadiran kapal induk Fujian dalam parade laut menegaskan bahwa ambisi blue-water navy kini menjadi kenyataan.
Selain aspek teknologi, kehadiran Presiden Vladimir Putin dan Kim Jong Un memberi bobot geopolitik yang lebih dalam. Putin menyampaikan solidaritas “Eurasian front” dalam menghadapi tekanan sanksi Barat, sementara Kim Jong Un menegaskan bahwa era dominasi imperialisme sudah berakhir. Dengan demikian, parade ini diposisikan sebagai simbol persekutuan politik yang menandai terbentuknya poros strategis Tiongkok-Rusia-Korea Utara, yang bisa disebut sebagai “poros Eurasia.” Momentum ini menegaskan bahwa dinamika geopolitik kini bergerak menuju multipolaritas, di mana aktor-aktor besar non-Barat berusaha mendefinisikan ulang arsitektur keamanan global.
Analisis Masalah
Parade 2025 harus dibaca dalam kerangka rivalitas strategis antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Sejak diluncurkannya Belt and Road Initiative (BRI) pada 2013, Beijing semakin mengintegrasikan kepentingan ekonomi dengan ekspansi strategis. Modernisasi militer yang dipercepat melalui kebijakan “Military-Civil Fusion” telah memungkinkan integrasi riset sipil dengan industri pertahanan, sehingga produksi senjata canggih berlangsung lebih cepat daripada pola konvensional Barat.
Dominasi Tiongkok dalam pembangunan kekuatan laut biru menjadi isu utama bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Armada Laut Tiongkok kini berjumlah lebih dari 350 kapal, termasuk kapal induk Fujian dan Shandong, melampaui jumlah kapal perang Armada Ke-7 AS yang berbasis di Yokosuka, Jepang. Kehadiran sistem satelit BeiDou, yang kini digunakan lebih dari 165 negara, memperlihatkan kemampuan Tiongkok menyaingi GPS dalam navigasi global. Dengan capaian ini, Tiongkok bukan lagi sekadar “regional power,” melainkan calon hegemon alternatif yang mampu menandingi posisi AS di Indo-Pasifik.
Selain rivalitas dengan AS, parade ini juga menandai pergeseran aliansi internasional. Poros Tiongkok-Rusia-Korea Utara memberikan sinyal bahwa “blok anti-Barat” kini memiliki landasan politik yang lebih kuat. Rusia menawarkan dukungan energi dan teknologi militer tradisional, sementara Korea Utara berfungsi sebagai pion strategis yang dapat mengganggu stabilitas Asia Timur. Ketiganya bersama-sama menolak tatanan dunia berbasis aturan (rules-based order) yang selama ini dijaga oleh Barat. Narasi multipolaritas mereka mendapat dukungan dari sebagian negara berkembang yang merasa tidak diuntungkan oleh sistem internasional yang bias Barat.
Dampak parade juga dirasakan secara langsung oleh negara-negara Indo-Pasifik, termasuk ASEAN. Bursa saham di Tokyo dan Seoul mengalami koreksi sebesar 2,5% sehari setelah parade karena kekhawatiran eskalasi militer. Sementara itu, negara-negara ASEAN menghadapi dilema strategis. Di satu sisi, Tiongkok adalah mitra ekonomi utama dengan investasi BRI senilai lebih dari USD 250 miliar di Asia Tenggara. Namun di sisi lain, ekspansi militer Tiongkok di Laut China Selatan menimbulkan kekhawatiran atas kedaulatan dan keamanan regional. Strategi “hedging” yang selama ini digunakan ASEAN semakin sulit dipertahankan di tengah eskalasi militer yang nyata.
Tanggapan Strategis
Dalam konteks ini, negara-negara Indo-Pasifik memerlukan strategi responsif yang bersifat multidimensi. Pertama, diplomasi regional harus diperkuat. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang menekankan keterbukaan dan kerja sama perdamaian perlu ditingkatkan implementasinya, agar ASEAN tidak hanya menjadi objek dalam rivalitas besar, tetapi juga aktor aktif dalam perumusan keamanan kawasan. Indonesia, dengan posisi geografis strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik, berpotensi menjadi mediator utama yang menjembatani kepentingan AS dan Tiongkok.
Kedua, aliansi pertahanan regional harus dikembangkan dengan cara pragmatis. QUAD (AS, Jepang, India, Australia) serta AUKUS (AS, Inggris, Australia) sudah berfungsi sebagai platform strategis, namun ASEAN tidak boleh absen. Latihan militer gabungan, pertukaran intelijen, dan kerja sama teknologi pertahanan dapat memberikan jaminan keamanan yang lebih konkret bagi negara-negara anggota. Dalam konteks ini, Indonesia bisa memainkan peran sebagai tuan rumah latihan gabungan multinasional yang mengintegrasikan kepentingan negara besar dengan stabilitas regional.
Ketiga, penguatan pertahanan nasional merupakan hal yang mutlak. Indonesia, misalnya, harus mempercepat modernisasi alutsista melalui implementasi Minimum Essential Force (MEF) tahap III dengan target 2025–2034. Kerja sama industri pertahanan dapat diperluas, tidak hanya dengan mitra tradisional seperti AS dan Rusia, tetapi juga dengan negara lain seperti Turki, Korea Selatan, dan Prancis. Program pembangunan kapal selam, drone maritim, dan sistem rudal pertahanan pantai perlu menjadi prioritas untuk menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara.
Keempat, diplomasi publik dan komunikasi strategis harus diperkuat untuk mengelola persepsi publik. Media internasional sering kali menyoroti Tiongkok sebagai ancaman, tetapi ASEAN harus mampu menghadirkan narasi yang menekankan stabilitas, kerja sama, dan kepentingan bersama. Indonesia dapat memanfaatkan forum G20, APEC, dan East Asia Summit sebagai panggung diplomasi publik yang menyeimbangkan persepsi global terhadap dinamika keamanan kawasan.
Implementasi dan Pengawasan
Strategi tersebut hanya akan efektif jika diterjemahkan ke dalam aksi nyata. Negara-negara Indo-Pasifik perlu memperluas latihan militer gabungan, khususnya di bidang operasi maritim, pengamanan jalur logistik, serta respons terhadap ancaman non-tradisional seperti serangan siber. ASEAN dapat menginisiasi pembentukan ASEAN Maritime Security Forum yang berfungsi sebagai wadah koordinasi permanen untuk isu keamanan laut. Forum ini dapat bekerja sama dengan UNCLOS dan International Maritime Organization (IMO) dalam menegakkan hukum laut internasional.
Indonesia dapat mengambil peran kepemimpinan dengan menawarkan Jakarta sebagai pusat diplomasi maritim internasional. Konferensi tahunan mengenai keamanan maritim bisa diselenggarakan, mengundang partisipasi negara-negara besar maupun kecil, sehingga menciptakan ruang dialog terbuka yang dapat meredam ketegangan.
Monitoring dan evaluasi berkala juga penting. Setiap enam bulan, negara-negara kawasan dapat mengadakan peninjauan terhadap strategi keamanan, termasuk capaian latihan bersama, efektivitas kerja sama intelijen, serta respon diplomasi terhadap dinamika terbaru. Dengan mekanisme evaluasi yang konsisten, strategi regional dapat terus diperbarui sesuai perkembangan geopolitik.
Penutup
Victory Day Parade Tiongkok 2025 menandai babak baru dalam geopolitik dunia. Pawai ini memperlihatkan bahwa Beijing bukan lagi sekadar aktor ekonomi, melainkan kekuatan militer yang siap menantang dominasi Amerika Serikat. Kehadiran Rusia dan Korea Utara mempertegas terbentuknya poros Eurasia yang menantang sistem internasional berbasis aturan Barat. Bagi negara-negara Indo-Pasifik, termasuk Indonesia, parade ini harus dibaca sebagai peringatan sekaligus peluang.
Indonesia perlu merumuskan strategi yang cerdas, mengombinasikan diplomasi aktif, penguatan pertahanan nasional, serta inisiatif regional yang mampu menjaga keseimbangan. Kehadiran delegasi Indonesia dalam parade ini penting, tidak untuk mendukung poros tertentu, melainkan untuk memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga di tengah pergeseran tatanan global. Dengan pendekatan See–Judge–Act, analisis ini menunjukkan bahwa hanya melalui strategi komprehensif, implementasi konsisten, dan diplomasi adaptif, Indo-Pasifik dapat tetap stabil meskipun dunia memasuki era multipolaritas baru.
Daftar Pustaka
Asia Pacific Leadership Network. (2024). Military Modernization and Regional Security. Singapore.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2025). Laporan Diplomasi Indo-Pasifik: Tantangan dan Peluang. Jakarta.
Lowy Institute. (2025). Geopolitical Shifts in Indo-Pacific: New Power Dynamics. Sydney.
Ramkumaran, R. (2023). China’s Rise and the Global Order. Routledge.
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). (1982). International Maritime Law.
Comments